Setiap manusia pasti mempunyai pikiran yang darinya dia akan menghasilkan ide-ide brilian yang dapat mengubah dunia....

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segenap Keluarga Besar HMI Komisariat STMA Trisakti mengucapkan :

Selamat ulang tahun yang ke 62 untuk HMI..
Semoga dapat segera menemukan kembali jati dirinya. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Sabtu, Maret 29, 2008

Dies Natalis...

Layakkah Kader HMI Memimpin Bangsa?
Oleh :MOHAMAD NABIL

Pada 5 Februari 2008, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menapaki usia yang ke 61 tahun. Sebuah usia yang cukup matang, jika dibandingkan dengan usia manusia. Namun, diusianya yang lebih setengah abad itu, vitalitasnya mulai melemah, perannyapun juga digugat, karena HMI tidak lagi menjadi solusi bagi umat dan bangsa, tapi malah menjadi bagian dari persoalan bangsa.

Tesis di atas setidaknya bisa dibuktikan dari aktivitas kader HMI yang tidak lagi merindukan semangat kepemimpinan dan intelektualisme. Di samping itu, secara internal, sistem kaderisasi HMI tidak mampu dikembangkan secara antisipatif dengan kebutuhan zamannya. Prestasi kebesaran HMI berhenti pada sekitar tahun 1980-an. Setelah itu tidak muncul lagi gerakan-gerakan yang mampu merespon zamannya. Kejayaan masa lalunya malah membuat para aktivisnya yang lahir pasca tahun 1980-an terpenjara di bawah kebesaran para pendahulunya.


Terlebih lagi ketika sebagian alumninya banyak menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan Orde Baru. Keberadaan alumni HMI yang telah mendiaspora ke seluruh lini kekuasaan membuat para aktivis HMI merasa lebih gampang membangun lobi dan silaturahmi (bahasa penghalus koneksi dan kolusi). Hal itu bukan tidak berdampak terhadap keberlangsungan HMI secara organisatoris, tetapi justru merangsang dan menjebak para aktivis HMI untuk mengikuti jejak seniornya yang dimanjakan Orde Baru.

Kondisi demikian telah merubah orientasi gerakan HMI yang pada awalnya bergerak di wiliyah kutural bergeser ke struktural. Akibatnya, gaung perjuangan HMI tak lagi terasa. Bahkan term “independen” yang menjadi identitas HMI di antara organisasi-organisasi lain tidak lagi nampak. Mereka tidak lagi tertarik dengan suasana intelectual exercises dalam forum-forum kajian, atau mengkaji suatu disiplin ilmu secara serius, tetapi lebih tertarik untuk mencerna teknik-teknik strategis yang lebih berorientasi struktural. Mereka lebih banyak belajar bagaimana menikmati kekuasaan, daripada mempertimbangkan konsekuensinya. Kepentingan politik sesaat menjadi mainstream, entah itu disengaja atau tidak oleh sebagian besar aktivis HMI.

Pergeseran orientasi ke arena struktural meniscayakan organisasi ini memasuki kancah politik praktis yang penuh intrik dan kurang konstruktif. Akhirnya, yang lahir dari rahim HMI bukanlah kader-kader terdidik yang ahli dan mumpuni di bidangnya serta mampu mempertahankan integritas dan idealismenya. Tapi yang muncul adalah broker-broker instan-pragmatis yang hanya berideologi pulsa. Anehnya, kondisi seperti ini, diakui atau tidak, justru yang kini dinikmati oleh para aktivis HMI.

Dalam kondisi demikian, ada pertanyaan mendasar yang pantas diajukan: kini, layakkah kader-kader HMI memimpin bangsa ini, atau minimal tidak menjadi bagian dari beban umat dan bangsa? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan karena keterpurukan HMI sudah sangat akut.

Jika HMI tidak segera berbenah, maka jawabannya: sangat tidak layak kader-kader HMI memimpin bangsa ini; karena bangsa ini tidak membutuhkan pemimpin broker, tetapi membutuhkan pemimpin yang tahu akan masalah bangsanya. Pertanyaan kemudian, dari mana HMI harus membenahi diri, biar kader-kadernya layak untuk mempimpin negeri ini?

Butuh Keberanian
Dalam ikhtiar membenahi diri, HMI bisa memperkuat titik lemahnya dengan peran-peran berikut. Pertama, perlu adanya penguatan (strengthening) struktur ke dalam. Penguatan ke dalam ini menyangkut sumber daya atau orang-orang yang akan menjalankan HMI terutama ditingkat PB. Karena PB—meskipun tidak selamanya—selalu menjadi ukuran dan simbol apakah organisasi ini bertambah maju atau mundur. Pemilihan ketua umum dan perekrutan pengurus yang akan menempati pos-pos strategis di PB harus berdasarkan kalkulasi rasional. Yang diutamakan adalah orang yang betul-betul mempunyai integritas dan moralitas intelektual, serta kemampuan leadership.

Jangan sampai ada anggapan bahwa menjadi pengurus PB sebagai jenjang menjadi pejabat dan mencari keuntungan sesaat. Harus ada yang berani menggugat, bahwa kalau ingin menjadi pejabat dan ingin mencari keuntungan tempatnya bukan di HMI. Dengan begini, setidak-tidaknya HMI sudah memulai untuk tidak lagi menelorkan kader-kader yang bermental broker, preman, atau tukang palak.

Kedua, memperbaiki pola kaderisasi. Pola kaderisasi ini harus betul-betul diperhatikan secara serius oleh HMI. Jangan sampai pola perkaderan formal yang sudah ada—basic, intermediate, dan advance training—hanya sekedar menjadi insight bagi anggota HMI, tetapi harus bisa betul-betul tercermin dalam sikap dan tindakan mereka. Oleh karena itu, perlu diadakan pembahasan khusus yang melibatkan semua kader dan para ahli untuk memperbaiki pola kaderisasi yang ada. Sehingga, pedoman perkaderan tidak hanya sekedar melakukan repitisi, tetapi bagaimana bisa memenuhi berbagai tuntutan zaman dan mengantisipasi perubahan yang sulit diprediksi.

Ketiga, upaya membangkitkan kembali semangat intelektualisme dan back to campus. Jika semangat intelektualisme berkembang secara wajar dan intens di HMI, niscaya ia akan menjadi kekuatan penyeimbang, atau bahkan kekuatan kontrol bagi orientasi politik yang sedang menjadi trend. Karena gerakan intelektual lebih memungkinkan munculnya sikap kecendekiaan yang tidak terlalu tertarik dengan interes politik.

Sedangkan back to campus, mencerminkan kembali pada tiga komponen pokok yang saling terkait: idealisme, intelektualisme, dan spritualisme (nilai-nilai moral). Idealisme sebagai cerminan dari kaum muda; intelektualisme sebagai representasi dari ciri mahasiswa dan; spritualisme sebagai bagian dari nilai keagamaan (Islam). Tinggal bagaimana ketiganya bisa tertanam dan menjadi komitmen dalam diri kader HMI. Idealisme yang ditunjang oleh pemikiran (intelektualitas) dan dilandasi oleh nilai keagaman universal justru akan melahirkan semangat pembebasan bagi kehidupan umat dan bangsa di manapun ia berada.

Keempat, mempertegas independensi. Kendati HMI secara kultural tidak mempunyai ikatan dengan organisasai manapun, semisal IMM dengan Muhammaddiyahnya atau PMII dengan NU, namun sikap ketergantungan dan dependensinya yang dominan selama ini. Terlebih, jika dihadapkan pada alumni. Dalam hubungannya dengan alumni, HMI harus mempertegas bahwa hanya mempunyai ikatan historis dan aspiratif saja, dan tidak instruktif (organisatoris). Jika ada oknum-oknum alumni yang ingin menjadikan organisasi ini sebagai kendaraan politik, maka para aktivis HMI harus berani bilang tidak dan menolak sama sekali. Karena pada prinsipnya tugas alumni hanya melanjutkan misi HMI di dunia pengabdian masing-masing, yakni ikut bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai olah Allah SWT.

Semoga di hari jadinya yang ke 61 ini, aktivis HMI sadar dengan penyakit yang diidapnya, dan syukur apabila ide di atas menjadi bahan refleksi; apalagi menjadi program nyata. Jika hal tersebut menjadi program, dan kemudian punya keberanian untuk menjalankan secara serius, maka nanti (entah kapan?) dalam jangka panjang kita berharap HMI akan memainkan peran yang berarti, minimal bisa memperbaiki HMI kini, meskipun tidak bisa menyamai HMI dulu. Tetapi jika HMI tidak mau berbenah diri, maka ikhlaskan saja jika kader HMI tidak layak memimpin negeri ini.

Mohamad Nabil (Peneliti muda CSRC UIN Jakarta & Pengurus Pusat Majelis Sinergi Kalam, ICMI).

Tidak ada komentar:

Jika ingin menerima pemberitahuan mengenai postingan baru, masukkan alamat email Anda dibawah...

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

This Day In A History...

 
Date Conversion
Gregorian to Hijri Hijri to Gregorian
Day: Month: Year