Setiap manusia pasti mempunyai pikiran yang darinya dia akan menghasilkan ide-ide brilian yang dapat mengubah dunia....

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segenap Keluarga Besar HMI Komisariat STMA Trisakti mengucapkan :

Selamat ulang tahun yang ke 62 untuk HMI..
Semoga dapat segera menemukan kembali jati dirinya. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Senin, Maret 03, 2008

Postmodernisme...

POSTMODERNISME:
SPIRITUALITAS TANPA KEBENARAN

Gene Edward Veith, Jr.

Judul Asli: Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought And Culture
Disadur oleh: Ev. Gunung Maston, S.Th.


Sejak Masa Pencerahan sampai abad modern, para pakar sudah mengharapkan bahwa suatu saat agama pasti akan mati. Hal ini tidak terjadi. "Manusia modern" yang sering disebut demikian (sebelum munculnya gerakan feminisme - gerakan yang mempertentangkan kaum pria dengan wanita), ternyata telah gagal percaya kepada hal-hal yang supranatural.
Abad keduapuluh dibuka dengan debat teologis antara kelompok "Modernis" dengan kelompok "Fundamentalis". Dengan Scopes Trial tahun 1925, media membuat karikatur yang menggambarkan kaum Fundamentalis sedang diejek dan ditertawakan oleh kaum intelektual. Waktu itu kaum modernis menguasai mayoritas gereja dan juga seminari-seminari. Sejak itu, teolog-teolog modernis telah "mendemitologisasikan" - membuang semua isi yang berbau supranatural dari - Alkitab, agar isi Alkitab dapat disesuaikan dengan pemikiran zaman modern. Mereka berasumsi bahwa manusia modern sudah begitu berorientasi dengan metoda sains, juga dominasi "secular city" (dunia sekuler) sudah mengakibatkan manusia modern tidak lagi dapat percaya kepada mujizat, wahyu ilahi, dan Allah yang tidak kelihatan.

Banyak seminari mulai mempelajari Alkitab, bukan sebagai Firman Allah yang berotoritas, tetapi hanya sama dengan dokumen-dokumen kuno, sehingga dalam mempelajarinya harus memakai metodologi "historis-kritis", yaitu metoda yang dipakai oleh para pakar ilmuwan modern (yang biasanya diterapkan kepada ilmu alam dan sosial). Pendekatan dengan metode ini mengasumsikan bahwa mujizat di dalam Alkitab tidak pernah terjadi dan harus dipahami sebagai sesuatu yang nonsupranatural.
Sebagai pengganti istilah "otoritas" yang dikenakan saat kita membaca Alkitab, diganti dengan istilah "secara kritis". Istilah itu juga dipakai untuk mengevaluasi kebudayaan dan keadaan orang-orang kuno di dalam Alkitab, menurut pendekatan kaum modernis, apa yang dikatakan di dalam Alkitab janganlah semuanya dianggap benar (is not necessarily true). Maka, para teolog liberal meletakkan keyakinan mereka pada kebenaran tanpa bukti - sekadar dugaan (alleged truth) - terhadap Alkitab sebagaimana yang telah ditemukan oleh para kritikus Alkitab. Mereka menyelimuti diri mereka dengan jubah-jubah yang tidak pernah salah daripada siantis-rasionalis modern.
Para kaum liberal menciptakan teologi mereka untuk menyesuaikan pemikiran dan kebudayaan modern. Mereka memalingkan gereja dari ketekunan iman mereka agar gereja memiliki perhatian terhadap masalah-masalah sosial. Perhatian-perhatian tradisional dari gereja terhadap pekerjaan-pekerjaan baik berubah menjadi kegiatan politik, yang merupakan utopia (pengharapan - khayalan) para kaum modernis. Perhatian gereja terhadap hal-hal yang rohani berubah menjadi hal-hal psikologis, hal yang sama dengan cita-cita para "ahli ilmu sosial" sekuler. Gereja-gereja menjadi sponsor pada kelompok-kelompok tertentu, dan hamba Tuhan menjadi konselor domba-dombanya untuk menemukan diri mereka (self realization) yang sebenarnya.
Saat ini kerinduan para politikus utopis dan para psikolog yang naif dari kelompok teologi liberal - yang masih mendominasi banyak seminari - nampaknya tidak menjadi realita. Jauh dari harapan manusia modern, gereja-gereja liberal dalam soal keanggotaan sudah rontok. Jika kaum liberal benar, tentunya mereka tidak membutuhkan gereja. Jika Alkitab hanya mitos, maka kita sesungguhnya tidak perlu diselamatkan, sebagaimana yang seringkali dikhotbahkan kaum liberal. Mengapa tidak tidur saja pada Minggu pagi? Ironisnya gereja-gereja konservatif dan fundamentalis semakin bertumbuh dengan iman yang murni yang ditolak oleh gereja-gereja modernis.
Sudah tentu, orang modern - kaum liberal - mencoba untuk tidak terlalu kentara. Ini adalah bentuk kemanusiaan (humanity) yang baru, yang sangat ilmiah, sangat rasional, sebagai proyeksi dari filsafat modern, satu mitos yang diciptakan oleh segelintir kaum intelektualis yang ingin memaksakan filsafat ilmu dan filsafat rasio kepada seluruh umat manusia. Manusia biasa menghadapi keterbatasannya dan sadar akan dosa-dosanya, dan banyak dari mereka yang menemukan iman di dalam Firman Allah.
Teologi liberal menyia-nyiakan warisan kristiani dengan usaha yang sia-sia agar memperoleh penghargaan dari kaum intelektualitas modernis. Setelah beberapa waktu, kaum modernis dengan keyakinan yang berlebihan dan kegagalan-kegagalan manifesto mereka, akhirnya menjadi bahan cemoohan. Kejatuhan modernisme juga menyeret kejatuhan teologi liberal. Untuk hal itu, kita dapat bersyukur selamanya.
Era postmodern juga memegang janji-janji bagi orang-orang yang percaya kepada Alkitab. Hal itu mendatangkan resiko-resiko yang baru dan berbahaya. Kaum modernis yang menyesatkan sudah menggelepar-gelepar, tetapi sekarang, kaum postmodernis sudah menggantikan tempat mereka. Rasionalisme sudah gagal, tetapi sekarang terbuka jalan kepada irrasionalisme - keduanya merupakan musuh dari penyataan Allah, walaupun dengan metoda yang berbeda. Kaum modernis tidak percaya bahwa Alkitab adalah kebenaran. Kaum postmodernis bahkan sudah membuang semua katagori-katagori kebenaran. Dengan berbuat demikian, mereka membuka peluang kepada agama-agama New Age, sinkritisme, dan kekacauan moral.
Gereja-gereja fundamentalis akan dengan gampang menyebut diri mereka sebagai musuh kaum modernis - garis perang sudah diukir. Pada masa ini permasalahan sudah lebih kompleks dan membahayakan. Tragisnya, kerangka pikir (mind-set) mereka memperoleh tempat berpijak di dalam gereja-gereja injili.

Kebenaran atau Keinginan
Untuk mengulang, postmodernisme memiliki asumsi bahwa tidak ada kebenaran obyektif, bahwa nilai-nilai moral adalah relatif, dan realita secara sosial dibentuk oleh kumpulan komunitas yang berbeda-beda. Keyakinan ini secara sadar membuang agama, sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum modernis. Perlu disadari bahwa agama-agama dan teologi-teologi yang dikumandangkan kaum postmodernis sangat berbeda dari yang dikumandangkan oleh kekristenan ortodox dan kelompok modernisme.
Sebelum era modern dan pra-modern, ruang lingkup agama termasuk percaya tentang apa yang nyata (real). Misalnya, ada Allah atau tidak ada Allah. Atau Yesus adalah inkarnasi Putra Allah, atau hanya manusia semata. Mujizat terjadi atau tidak sama sekali. Beberapa orang Kristen dengan bersemangat di dalam ketidaksepakatan berdebat: Adakah tempat seperti purgatori? Adalah Maria berdoa syafaat bagi kita di surga? Adakah sebagian orang yang sudah ditetapkan untuk dibinasakan? Tetapi semua ketidaksepakatan ini melampaui fakta-fakta. Agama pada saat ini tidak dilihat sebagai satu paket keyakinan tentang apa yang nyata dan apa yang tidak nyata. Melainkan agama hanya dilihat sebagai sebuah preferensi, sebuah pilihan semata (lihat Walter Truett Anderson, Reality Isn't What is Used to Be: Theatrical Politics, ready-to-Wear Religion, Global Myths, Primitive Chic, and Other Wonders of the Postmodern World. San Fransisco: Harper & Row, 1990, Hal. 7-9). Kita percaya akan apa yang kita sukai. Kita percaya kepada apa yang ingin kita percayai.
Di mana tidak ada kebenaran absolut, maka intelek mengorbankan atau membuang kehendak. Kriteria estetika akan menggantikan kriteria rasio. Dengarkanlah kepada cara-cara orang berdiskusi tentang agama pada masa kini. "Saya sungguh menyukai gereja itu," mereka katakan. Setuju dengan gereja itu atau percaya dengan apa yang diajarkan dalam gereja itu jarang sekali menjadi bagian dari diskusi itu. Orang-orang mendiskusikan ajaran-ajaran iman di dalam istilah-istilah yang sama juga. "Saya sungguh-sungguh suka dengan ayat Alkitab yang mengatakan, 'Allah adalah kasih.'" Banyak hal-hal yang mirip dengan kekristenan - Kasih Allah kepada kita, Kristus memikul dosa kita, kemurahan dan pertolongan-Nya.
Tetapi, segera kita akan mulai mendengar tentang hal-hal apa yang tidak mereka sukai. "Saya tidak suka ide tentang neraka." Hal ini sesungguhnya respon yang wajar karena tidak ada seorangpun yang menyukai neraka. Tetapi rasa benci kita kepada doktrin ini sesungguhnya menyingkirkan poin utamanya. Masalahnya, bukanlah kita suka atau tidak suka, tetapi apakah tempat itu memang benar-benar ada.
Untuk menetapkan ada atau tidak tempat yang mengerikan itu, maka hal itu melampaui maut -- kuburan. Dan untuk tahu bagaimana kita dapat dilepaskan dari tempat itu, seorang Kristen harus kembali kepada sumber segala sesuatu, yang melaluinya kita tahu hal-hal rohani, yaitu dari Alkitab yang adalah Firman Allah. Orang Kristen seharusnya curiga kepada pengajaran teologi yang mengindarkan diri dari doktrin ini. Iman seperti itu tidak lebih dari sekadar fantasi-fantasi yang menyesatkan.
Pada masa kini, bahkan pelayanan kaum konservatif dan Injili pun jarang menyinggung tentang neraka. Yang pasti, "Orang-orang tidak akan suka mendengar tentang itu, dan kami tidak mau menakut-nakuti mereka", kata mereka. Orang tidak pernah suka mendengar tentang neraka. Perbedaan masa kini dengan masa lampau adalah, bahwa banyak orang masa kini tidak mau percaya (jika percaya adalah satu fungsi dari kehendak) apa yang tidak ingin mereka nikmati (jika pertimbangan-pertimbangan keindahan menentukan fakta-fakta).
Perbedaan yang menyeluruh tentang cara berpikir tentang agama -- yaitu yang tidak berbicara masalah apakah kebenaran, tetapi apa yang diinginkan atau dikehendaki seseorang -- menjelaskan mengapa bidat-bidat seperti ini lebih banyak mendominasi kaum intelektual dan berpendidikan. Contohnya, Gereja Scientology, yang mengajarkan bahwa makhluk asing datang dari luar angkasa jutaan tahun yang lalu dan mengakibatkan perang angkasa. Makhluk-makhluk asing ini mempengaruhi kita, dalam kehidupan kita masa lampau. Kita akan dapat memecahkan masalah kita dengan menghubungkannya ke satu kotak elektronik. Sementara itu, melalui konseling oleh seorang scientolog, ia dapat mengangkat "engrams" negatif yang terakumulasi dalam hidup kita di masa lampau. Setelah itu kita akan menjadi makhluk-makhluk rohani yang bersih.
Manusia yang menganggap diri mereka sebagai orang yang begitu canggih sehingga tidak percaya kepada Injil Yohanes, dapat percaya kepada hal-hal yang seperti ini? Scientology, terdiri dari orang-orang yang berjaya dalam bisnis, para bintang film yang sukses, dan kaum profesional-intelektual muda. Dalam semua khotbah-khotbah mereka, mereka tidak memberikan bukti-bukti yang real tentang keberadaan makhluk-makhluk asing itu dan apa yang dimaksud dengan kehidupan masa lamapu. Scientolog mungkin menolak kemungkinan pernyataan dari Allah, tetapi mereka sungguh-sungguh menerima apa yang disebut sebagai penyataan dari pendiri mereka, L. Ron Hubbart. Ironis bukan?
Tetapi agama-agama postmodern tidak membutuhkan bukti-bukti atau hal-hal yang masuk akal. Hubbart sebelumnya adalah seorang novelis sains fiktif yang berhasil. Banyak orang yang menikmati apa yang digambarkannya dalam novelnya tentang makhluk-makhluk asing dan peperangan-peperangan luar angkasa. Bukankah hal ini akan menjadi lebih baik bila hal ini adalah sungguhan? Doktrin-doktrin scientology sangat menarik, merangsang imajinasi, bahkan menyenangkan. Mengapa kita tidak memilih mereka?
Katakanlah kepada seorang penganut bidat apa saja, dan perhatikan bagaimana ia akan menggambarkan dan nilai ajaran mereka itu dengan begitu subjectif dan dengan istilah-istilah yang menyenangkan (pleasured -- oriented terms): Maharishi sungguh-sungguh sejuk. "Meditasi transendental memberikan saya satu puncak alamiah (a natural high)." "Pendeta Moon membuat saya lebih baik tentang diri saya." Menyukai sesuatu dan menginginkan sesuatu untuk menjadi benar adalah satu-satunya kriteria kepercayaan mereka.
Orang-orang Kristen harus menjelaskan popularitas bidat-bidat ini dengan lebih tegas, bahwa sesungguhnya pengikut-pengikut mereka telah dipikat oleh setan.Kita harus sadar bahwa setan akan menggoda kita dengan cara mengorek keinginan hari kita. Setan menipu kita dengan menjanjikan tepat seperti apa yang kita inginkan dan dambakan. (Sudah tentu, dengan ironi-setan, yaitu apa yang ia berikan adalah sesungguhnya apa yang tidak kita sukai, adalah neraka itu sendiri.) Di dalam terang "keinginan tubuh yang berdosa" (Rm. 13:14), maka kita tidak berani meletakkan keinginan-keinginan kita sebagai otoritas rohani kita.

Moralitas atau Keinginan
Bagi kaum postmodernis, moralitas, seperti agama, adalah suatu masalah keinginan (desire). Apa yang saya inginkan dan apa yang saya pilih tidak hanya benar -- true (bagi saya) tetapi juga tepat -- right (bagi saya). Menurut mereka, orang yang berbeda akan memilih hal-hal yang berbeda pula, maksudnya adalah bahwa kebenaran dan moralitas adalah relatif, tetapi "saya punya hak akan apa yang saya inginkan". Sebaliknya, "tidak seorang pun yang punya hak" untuk mengkritik apa yang saya inginkan dan saya pilih.
Walaupun kaum postmodernis cenderung untuk menolak nilai-nilai moralitas tradisional, mereka dapat menjadi orang yang sangat moralistik. Mereka akan mempertahankan hak mereka untuk melakukan apa yang mereka inginkan dengan semangat puritan (kelompok saleh abad pertengahan). Selanjutnya mereka akan menganggap bahwa mereka punya hak untuk tidak dikritik oleh siapapun atas apa yang mereka lakukan. Yang mereka inginkan atas pilihan mereka tidak hanya lisensi (surat izin) tetapi juga persetujuan.
Oleh sebab itu toleransi menjadi satu kebaikan yang terpuji dan tertinggi. Di bawah filsafat postmodernisme, prinsip kepelbagaian kebudayaan artinya adalah bahwa setiap cara berpikir satu kelompok tertentu adalah menyatakan satu kebudayaan tertentu yang harus dipertimbangkan sebagai hal yang baik sebagaimana dengan kebudayaan lainnya. Dosa kaum postmodernis adalah "menghakimi" (being judgemental), "pemikiran yang sempit, picik" (being narrow-minded), "menganggap bahwa hanya ia yang memiliki kebenaran", dan "berusaha untuk memaksakan nilai-nilainya kepada orang lain." Mereka yang meragukan dogma postmodernis yaitu "tidak ada yang mutlak" akan dikeluarkan dari semangat toleransi mereka. Satu-satunya ide yang salah adalah percaya kepada kebenaran; satu-satunya dosa adalah percaya adanya dosa. Filsafat "moralitas keinginan" (the morality of desire) telah menghancurkan makna seksualitas. Pil Keluarga Berencana telah memisahkan seks dengan reproduksi. Segera, seks akan terpisah dari pernikahan. Pria dan wanita sekrang sudah terbiasa hidup bersama di luar nikah. Wanita yang ingin memiliki seorang anak tidak perlu memiliki suami. Revolusi seksual menghancurkan ikatan keluarga. Masyarakat saat ini memandang pemenuhan keinginan seksual sebagai hak setiap individu di mana orang lain tidak berhak untuk melarangnya.
Sekarang, wabah AIDS, yang menghancurkan fungsi kekebalan tubuh, menentang kebebasan seksual itu sendiri. AIDS segera menjadi penyakit era postmodern, tidak hanya karena merupakan penyakit sadis yang menghancurkan diri sendiri, tetapi juga karena hak itu disahkan pada era 60'an (revolusi seksual, hak-hak kaum homo, dan penyalahgunaan obat bius). Sementara orang berbalik kepada moralitas seksual yang lain, yang tidak hanya merusakkan hubungan keluarga tetapi juga harkat manusia itu sendiri. Pornographi, telepon seks, dan teknologi yang menjanjikan 'kebaikan-kebaikan seks' -- yang mana orang-orang akan sanggup mengikatkan diri mereka ke dalam ikatan 3D fantasi seksual (lihat Philip Elmer - Dewit, "Cyberpunk!" Time, 8 Februari 1993, hal. 59-65) -- sangat mengancam nilai seksual menjadi tidak manusiawi (dehumanization of sexuality). Walaupun semua konsekuensi di atas jelas, namun manusia masa kini tetap ngotot dengan etika keinginan nafsu mereka (the ethic of desire).
Moralitas postmodernis memiliki ajaran yang menarik -- yaitu konsep tentang tanggung jawab secara kolektif (kelompok) dan rasa bersalah yang kolektif. Sebagai kelompok yang menekankan oritentasi kelompok, maka idiologi cenderung mengecilkan nilai individu, hal ini juga akan mengecilkan tanggung jawab individu. Jika suatu kebudayaan membentuk suatu individu, maka kebudayaan itu akan bertanggung-jawab terhadap perilaku individu tersebut. Sebagai akibatnya adalah bahwa kesalahan tidak dapat dikenakan kepada individu, melainkan kepada kebudayaan. Status moral seseorang tidak ditentukan oleh tindakan seseorang, melainkan oleh keanggotaan seseorang di dalam kelompok tertentu. Seorang muda kulit putih akan merasa bersalah jika orang-orang kulit putih melecehkan orang kulit berwarna, walaupun itu sudah terjadi berabad-abad yang lalu di mana kaum lelaki menindas kaum wanita. Mungkin ia tidak pernah memiliki seorang budak, budak Indian, atau tidak pernah melecehkan wanita, namun ia harus merasa berdosa akan apa yang telah dilakukan oleh nenek moyangnya pada masa silam. Untuk menebus kesalahan itu, maka ia mungkin akan terjun dalam kancah politik liberal atau radikal. Dalam pada itu, pemerintah dan usahawan melakukan program-program untuk menggantikan "ketidakadilan dalam sejarah", sebagai kompensasi terhadap korban-korban pelecehan pada masa lampau, dengan memberikannya kepada keturunan mereka masa kini, yang mungkin mereka pun sudah tidak lagi mengalami ketidakadilan.
Sudah tentu, bahwa konsep tentang dosa kolektif membutuhkan standar moral yang objectif. Sebut saja "keadilan" tentu membutuhkan standar benar atau salah, akan apa yang selayaknya diterima oleh setiap orang. C.S. Lewis berkata bahwa walaupun manusia menyangkal nilai kebenaran, tetapi orang seperti inipun bereaksi saat seseorang mengambil tempat duduk mereka di bus, atau saat mereka diperlakukan secara tidak adil (C.S. Lewis, Mere Christianity, New York: Macmillan, 1960, hal. 17-20).
Dengan jujur, kaum postmodernis mengakui dilema konsep "keadilan" di atas, namun sementara itu mereka menolak adanya nilai moral yang mutlak (Steven Connor, Postmodernist Culture: An Introduction To Theories Of The Contempory. Oxford: Basil Blackwell, 1989, hal. 242-243) memperingatkan orang-orang yang meremehkan akibat dari konsep bebas nilai dan moralitas yang dilakukan oleh kaum postmodernis. Hal ini tidak boleh dipandang secara sederhana dengan menganggap kesinambungan dari nilai-nilai dan moralitas itu akan tetap eksis secara natural di dalam pemikiran postmodern yang secara otomatis akan sepakat pada konsep nilai dan konsep moralitas itu.
Ia menunjukkan kontradiksi bahwa sementara kaum postmodernis menyangkal kemutlakan nilai moral di dunia barat, sementara itu terjadi perjuangan nilai-nilai moral di belahan dunia ketiga. Connor tidak memberikan solusi atas dilema ini. Ia mengakhiri bukunya dengan mengajak pembaca untuk menciptakan "satu bentuk etika kolektif yang baru dan yang lebih inklusif", yaitu "penciptaan sebuah kerangka kesepakatan bersama" (the creation of a common frame of assent). Tetapi untuk melakukan hal itu kita harus membiarkan semua asumsi-asumsi dasar dari pengajaran postmodernisme.
Satu-satunya keadaan yang konsisten bagi kaum postmodernis adalah bahwa semua pembicaraan tentang moralitas termasuk yang mereka anut, hanya merupakan topeng-topeng dari kehendak untuk berkuasa (masks the will to power). Sebut saja, keadilan, pembebasan (liberation), dan akhir dari penindasan, bisa menjadi sekadar tipu muslihat retoris. Kelompok-kelompok yang kekurangan kuasa harus merampas hal ini melalui cara apa saja dan menggunakannya melawan penindas. Bahwa yang kemudian akhirnya menjadi korban hanyalah ketepatan. Latihan yang sebenarnya tentang kekuasaan (tidak bisa dibatasi oleh batasan-batasan moral), adalah sebuah rumusan utama bagi para teroris dan juga bagi para penganut totalitariannisme (pemerintah yang sewenang-wenang).
Pada tingkatan politik dan individu, etika keinginan / nafsu (ethic of desire) ini sama dengan kehendak (the will - apa yang saya pilih) untuk berkuasa (to power - apa yang saya inginkan). Secara politis, etika keinginan adalah perjuangan kekuasaan di antara berbagai kelompok yang bersaing. Di Amerika Serikat, hal ini nyata dalam pencarian kaum feminist, yang memenjarakan para demonstrator yang berjuang untuk kehidupan (pro-life demonstrator), kaum gay yang suka membuat kerusuhan di dalam kebaktian di gereja, dan teroris yang terang-terangan. Di dalam kekuasaan Soviet yang terdahulu, hal ini nyata di dalam perang sipil dan pembersihan / pemusnahan etnis tertentu. Diterapkan secara individu, maka etika keinginan maksudnya adalah keegoisan, kebebasan seksual, dan kebebasan moral. "Saya harus memiliki kuasa untuk melakukan apa yang saya inginkan, dan engkau tidak mempunyai kuasa untuk menghentikan saya". Tanpa kerangka moral yang jelas, maka masyarakat akan terpecah-pecah dalam konflik antar golongan / faksi dan menghancurkan nilai individu itu sendiri. Akibatnya adalah banyaknya kejahatan, pelecehan seksual, dan anarki seperti yang digambarkan dalam kitab Hakim-Hakim, bahwa satu waktu terjadi kerusuhan moral pada bangsa Israel dan hal itu tepat seperti apa yang dimaksud dengan teori etika dari kaum reformasi: "Setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri" (Hak. 21:25).


Agama-agama Baru
Sementara kaum modernis bersama menghapuskan agama / kepercayaan, maka kaum postmodernis menelurkan yang baru. Tanpa memaksakan objektivitas, tradisi, akal atau moralitas, iman jenis baru ini, berbeda secara radikal dengan kekristenan. Bila ditelusuri, maka jenis ini sebenarnya sudah ada dalam bentuk penyembahan berhala (paganism) model primitif yang sangat kuno.
Kelompok-kelompok ini bisa dibandingkan dengan praktek-praktek "negative theology" pada abad pertengahan, yang menolak untuk mengatakan apakah Allah itu, tetapi menonjolkan bahwa Allah itu tidak seperti...Lebih tepat lagi, mereka adalah seperti pendeta-pendeta Zen Budisme yang merendahkan rasionalitas, melenyapkan semua perbedaan untuk memperoleh pencerahan Nirwana, satu tempat kehampaan (the state of cosmic nothingness). Perusakan itu nyata di setiap pernyataan yang positif, setiap argumen yang rasional, setiap klaim kebenaran. Bagaimana akibatnya, melampaui yang kita bayangkan. Ketidakmampuan bahasa akan tertinggal di belakang, dan rasa keterasingan dari individu akan coba disembuhkan dengan cara rekonsiliasi secara mistis dengan alam (a mystical reconsiliation of nature), dengan cara psikologi dan kebudayaan (Steven Connor, hal. 212). Kaum postmodernis dengan sangat naif berasumsi sebagai yang terbaik, menghapuskan doktrin dosa asal, yang memperkirakan bahwa dengan menghancurkan semua itu mereka akan melepaskan iblis yang menakut-nakuti mereka.
Postmodernis, dalam hal penolakan mereka akan kebenaran yang objektif, memiliki kesamaan dengan Hinduisme dan Buddisme, yang mengajarkan bahwa dunia luar (external world) hanyalah sebuah ilusi dari pikiran manusia. Agama-agama timur juga memberikan dasar bagi perkembangan aliran spiritualisme. Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang tokoh postmodernis Walter Truett Anderson: "Desakan atas reaksi postmodern dari keyakinan-keyakinan yang lama telah menyapu sebagian orang untuk masuk ke dalam paham yang bahkan lebih radikal dari kaum konstruktivis". Banyak suara yang saat ini kita dengar yang mengatakan bahwa apa yang berada di sana adalah karena kita sendiri yang meletakkannya di sana. Lebih tepatnya, apa yang saya letakkan di sana -- hanya si aku yang kecil, saya membentuk dunia saya sendiri di sana. Dulu kita menyebut hal ini sebagai solipsisme: sekarang kita menyebutnya sebagai spiritualitas Zaman Baru.
Agama-agama Zaman Baru, dengan semua jebakan-jebakan paganismenya, memiliki ide yang sama, bahwa diri (self) adalah bersifat ilahi, bahwa engkau adalah Allah, sebagai pencipta alam semestamu. Setua waktu ular itu menipu Hawa (Kej. 3:5), ide ini sekarang muncul di banyak buku tentang menolong diri sendiri (self help books), traktat-traktat motivasi diri (motivation tracts) dan dalam psikologi populer ("Engkau membentuk realitasmu sendiri").
Gerakan Zaman Baru, seperti postmodernisme, hadir dengan beragam bentuk, tetapi dengan satu tema. Guru Zaman Baru mungkin saja seorang perantara (channeler) dari prajurit perang zaman Mesir kuno, atau mungkin juga dalam bentuk-bentuk supranatural lain. Mereka mungkin saja mengajarkan manfaat bola kristal atau mempromosikan obat-obatan alami. Mereka bisa juga melakukan riset ilmiah yang semu yang melampaui indera kita, atau mungkin juga melakukan praktek meditasi model Tibet. Untuk semua perbedaan-perbedaan itu, mereka akan mengatakan satu pengajaran --dogma-- bahwa diri kita sendiri adalaaah allah. Bahwa seluruh alam semesta adalah ilusi dan kebenaran adalah relatif.
Agama-agama Zaman Baru, tentu sedikit lebih luas dari apa yang kita sebut dengan kebangkitan peganisme tua / lama (old paganism). Bersamaan dengan mundurnya kekristenan, agama-agama alam yang primitif muncul menggerogoti. Hal ini, tentu saja sesuai dengan imajinasi masa kini. Kaum feminis, dalam reaksi mereka melawan kekristenan, mencoba untuk membangkitkan paham penyembahan kepada "Allah Ibu" (the gooddes-worship).
Kaum Environmentalis menekankan bagaimana semua planet ini adalah menyatakan ekosistem yang interdependensi tunggal (a single interdependent ecosystem). Hal ini menggambarkan bahwa kita sebagai individu adalah sebuah sel dari organisme yang lebih besar, satu keberadaan yang hidup yang disembah sebagai Ibu Bumi (Mother Earth), Allah Ibu, yaitu Gaia.
Iman kaum paganisme, paling tidak di dalam bentuk modern sangat permissif dalam hal moralitas. Pekerja komputer, Cyberpunk, dikembangkan dengan apa yang mereka sebut sebagai "techno erotic paganism", menggunakan modem mereka untuk masuk ke dalam realita elektronik "cyberspace". Melalui jaringan komputer yang saling berhubungan dengan komunikasi global, maka mereka dapat memasukkan percakapan-percakapan teologis dan membuka e-mail pornographi (Elmer - Dewitt, Cyberpunk!, hal. 64).
Agama-agama baru selalu berkaitan dengan pemberontakan moral. Kebangkitan penyembahan Allah Ibu dapat dihubungkan dengan bangkitnya homoseksualitas dan feminisme. Para ahli sudah menunjukkan bagaimana pada zaman dulu homoseksual selalu dihubungkan dengan penyembahan Allah Ibu (Daniel F. Grennberg, The Construction of Homosexuality. Chicago: University of Chicago Press, 1988). Banyak agama-agama kuno yang juga mempraktekkan pengorbanan bayi (infanticide). Benar atau tidak, aborsi adalah satu bentuk penyembahan kepada dewa Molokh.
Agama-agama yang sekarang muncul tidak saja bentuk bagian zaman dulu, tetapi lebih kepada bentuk sinkritisme cangkokan (sincritism hybrid). Di dalam sebuah dunia postmodern dan dunia konsumeristik seperti ini, yang mana kebenaran adalah relatif, maka orang-orang akan mengambil aspek-aspek tertentu dari berbagai agama, sebagaimana yang mereka sukai. George Barna meramalkan bahwa "terpaku dengan keinginan mereka sendiri, maka anak-anak muda tidak akan tertarik lagi dengan dasar-dasar yang penting dari kekristenan. Mereka akan menggantikannya dengan mencari sendiri kebenaran dan tujuan hidup mereka, mereka akan menjadi sinkritis." (The Fong in the Kettle: What Christian Need to Know About Life in the Year 2000. Ventura, CA: Regal Books, 1990).
Kekristenan yang alkitabiah akan menemukan diri mereka tepat pada posisi iman Israel kuno dan gereja mula-mula -- tetap berpegang teguh pada iman mereka walaupun dikelilingi oleh paganisme. Mereka juga akan menemukan pencobaan yang sama. Banyak orang-orang Kristen yang jatuh dalam sinkritisme. Banyak orang dari gereja mula-mula jatuh menjadi kelompok bidat karena mereka mencoba menggabungkan kekristenan dengan filsafat Gnostik dan bidat Manicheisme. Tekanan-tekanan untuk mempraktekkan apa yang dilakukan oleh kaum pagan, nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan mereka seringkali begitu kuat. Tetapi firman Allah begitu jelas:
"maka hati-hatilah, supaya jangan engkau kena jerat dan mengikuti mereka, setelah mereka dipunahkan dari hadapanmu, dan supaya jangan engkau menanya-nanya tentang allah mereka dengan berkata: Bagaimana bangsa-bangsa ini beribadah kepada allah mereka? Akupun mau berlaku begitu. Jangan engkau berbuat seperti itu terhadap TUHAN, Allahmu; sebab segala yang menjadi kekejian bagi TUHAN, apa yang dibenci-Nya, itulah yang dilakukan mereka bagi allah mereka; bahkan anak-anaknya lelaki dan anak-anaknya perempuan dibakar mereka dengan api bagi allah mereka. Segala yang kuperintahkan kepadamu haruslah kamu lakukan dengan setia, janganlah engkau menambahinya ataupun menguranginya" (Ul. 12:30-32, TB-LAI)

Pilihan-Pilihan Masyarakat
Dapatkah suatu masyarakat bertahan hidup tanpa sebuah konsensus moral dan religi? Masyarakat akan terpecah-pecah menjadi beberapa faksi yang saling bertikai, kurang memiliki kerangka acuan yang kuat, maka masyarakat seperti ini tidak stabil. Masyarakat yang terpecah-pecah pada akhirnya akan berusaha untuk menyatukan diri kembali dengan cara yang berbeda-beda. Saat ini, di era postmodernisme, kita berapada pada fase perusakan, di mana tidak hanya nilai-nilai tradisional yang dirusak tetapi juga nilai-nilai masa kini. Apa yang bakalan terjadi adalah pada saat bagian-bagian masyarakat disatukan kembali dalam bentuk (design) yang baru, maka keterpisahan itu tetap tampak. Pada masa ini, banyak kelihatan tanda-tanda agama-agama sekular jenis yang baru yang memunculkan masyarakat jenis yang baru. Sir Arnold Toynbee, dalam analisanya tentang peradaban dunia, telah menegaskan bahwa masyarakat yang berhasil memiliki beberapa macam konsensus religi. Saat konsensus ini hilang, object penyembahan yang baru akan mendesak masuk ke dalam kerohanian yang sudah vakum. Menurut Toynbee, saat satu masyarakat kehilangan imannya yang transendental, maka akan mengarah ke salah satu dari tiga hal ini (istilah yang biasa dipakainya untuk gejala ini adalah pengilahian - idolatries), yaitu nasionalisme, ekumenikalisme, dan teknikalisme.
Pada alternatif yang pertama, yaitu nasionalisme, maka iman transenden akan memberikan jalan kepada "pengilahian komunitas yang berhubungan dengan agama" (deified parochial communities) (Arnold Toynbee, An Historian's Approach Religion. New York: Oxford University Press, 1956, hal. 211). Di dalam model seperti ini, maka masing-masing kelompok kecil akan mengklaim diri mereka sebagai yang ilahi. Kebudayaan dan sub kebudayaan akan mengilahkan diri sendiri. Komunitas akan menjadi sumber nilai-nilai moral, yang berlaku hanya bagi anggota komunita tersebut. Orang-orang luar di mana hukum moral itu tidak berlaku akan dianggap musuh. Toynbee menunjukkan bagaimana hal ini terjadi dalam zaman Athena dan Sparta kuno; dalam zaman kebangkitan pencerahan nasionalisme setelah konsensus abad pertengahan runtuh; dan juga pada masa fasisme Mussolini dan Sosialisme Nasional yang diciptakan Hitler (Toynbee, hal. 211-215).
Model Toynbee merupakan nubuatan yang mengejutkan tentang masyarakat postmodernisme. Pada saat Eropa Timur kehilangan konsensus terhadap model Marxist, maka nasionalisme jenis baru muncul -- yaitu "pengilahian komunitas berbaaau agama". Hilangnya konsensus di Amerika Serikat telah mengakibatkan rasialisme dalam politik, kelompok-kelompok militan, dan kelompok-kelompok kebudayaan yang bersikap bermusuhan satu sama lain.
Alternatif kedua akibat hilangnya konsensus nilai-nilai transenden adalah "pengilahian kekuatan oikumenis" (deified ecumenical empire) (Toynbee, hal. 43-58). Model ini mengilahkan kesatuan sementara mereka tetap saja memiliki perbedaan yang mencolok. Pada saat Roma kehilangan agama turunan yang sifatnya lokal, dan berubah menjadi kekaisaran yang begitu luas, hal ini mengakibatkan penyembahan kepada kekaisaran. Kekaisaran sendiri, yang diwakili oleh kaisarnya, menjadi ilah. Roma menegaskan bahwa setiap orang di bawah kekuasannya harus memberikan korban bakaran dan persembahan kepada kaisar. Dalam kondisi seperti ini, Roma dapat toleran terhadap semua agama. Tetapi orang Kristen mengklaim bahwa hanya ada satu iman yang benar dan menolak untuk menyembah kaisar. Akibatnya adalah bahwa Roma mengeluarkan mereka dari masyarakat dan membunuh mereka. Sebaliknya, masyarakat akan terus bersama-sama mengilahkan diri mereka. Pengilahan kekaisaran Roma adalah semangat oikumenis, yaitu di seluruh kekuasaannya. Religi sifatnya adalah universal.
Kekaisaran Roma bukanlah satu-satunya masyarakat yang mencoba membentuk komunitas yang mengilahkan masyarakat oikumenis. Toynbee melihat model ini juga terdapat pada masyarakat Mesir, Sumer, Persia kuno, dan yang paling dekat dengan zaman kita, Dinasti Tiongkok, dan bahkan kerajaan Inggris terjebak dengan hal yang sama (Toynbee, hal. 43-58). Toynbee juga melihat spirit ini ada pada masanya, pada perang dunia kedua, di mana orang umumnya terpana dengan Amerika Serikat dan satu harapan agar dunia dapat memiliki pemerintahan tunggal.
"Kesatuan" sudah jelas adalah sebuah nilai kaum modernis. Pengilahian akan bentuk oikumenis mungkin merupakan sebuah fungsi pada masa modernisme belakangan ini. Ini mungkin merupakan respon terhadap kurangnya konsensus religi yang sudah dimulai pada zaman pencerahan dan mencapai puncaknya pada abad keduapuluh ini. Para teolog modernis mencoba menyatukan gereja-gereja dengan menghilangkan perbedaan keyakinan-keyakinan mereka. Hal ini mereka sebut sebagai gerakan oikumenis. Banyak gereja yang membuang nilai-nilai ortodoks.
Perhatian terhadap kesatuan mungkin merupakan satu nilai modernis, tetapi hal itu juga merupakan sebuah pilihan kaum postmodernis. Gerakan oikumene telah gagal menyatukan gereja-gereja, maka usaha mereka sekarang adalah untuk menyatukan semua agama di dunia ini. Hal ini berarti menghilangkan perbedaan-perbedaan keyakinan mereka demi menerima iman yang sama sekali baru dan asing bagi mereka. Para teolog ini menganut prinsip-prinsip relativisme dari postmodernisme agar mereka dapat merangkul semua kebudayaan dan agama. Hal ini mungkin menjadi tanda akan apa yang akan terjadi. Sesungguhnya, nilai "toleransi" adalah di atas segalanya, sebagaimana ditunjukkan oleh Toynbee, bahwa karakteristik komunita yang oikumenislah yang ditinggikan.
Walaupun postmodernisme lebih memilih kepelbagaian, environmentalis, teolog Zaman Baru, guru-guru bisnis, bintang-bintang film, dan pentolan-pentolan yang lain, mereka tetap menekankan "kesatuan global" (global unity). Kita semua bergantung kepada ekosistem tunggal. Kita semua adalah sel-sel yang berada di Gaia, yaitu organisme tunggal global (the single global organism) yang tidak lain adalah bumi sendiri. Kegiatan bisnis Amerika adalah satu bagian dari saling ketergantungan ekonomi global. (Kita adalah dunia). Isitlah "globalisasi" mungkin saja merupakan dengungan dari munculnya semangat oikumenis postmodernis. Istilah tersebut sepertinya memberikan ruang yang terbuka bagi relativisme kebudayaan dan kesatuan global.
Toynbee mengatakan bahwa akibat yang tidak terelakkan dari sikap penyembahan terhadap kesatuan (unity) adalah hilangnya kebebasan (liberty). Hak-hak individu pasti ditekan agar dapat memperoleh dan mempertahankan kesatuan. Toynbee melihat bahwa kehidupan modern secara khusus adalah salah satu contoh mengilahkan komunita. Negara menyatakan diri sebagai penyedia utama dari bahan makanan, pekerjaan, kesehatan, dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang.
Visi merindukan sebuah negara yang maha kuasa dan penuh kebaikan masih tetap kedengaran di banyak negara Barat (khususnya di Amerika Serikat, yang belum mengalami sepenuhnya hal ini). Namun, kejatuhan komunisme di Uni Soviet, negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi, negara yang meninggikan kekuasaan yang oikumenis, mungkin akan menilai pilihan ini usang.
Alternatif yang ketiga bagi keyakinan yang transenden, menurut Toynbee adalah "pengilahian ahli teknologi yang tak tersaingi" (idolation of the invincible technician) (Toynbee, hal. 220-238). Ini menelusuri, betapa teknologi sedang berkembang fungsinya mengambil fungsi suatu keyakinan atau agama. Atribusi ilahi tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan sudah dikenakan kepada teknologi.
Sesungguhnya, sikap sains seperti itu adalah sikap kaum modernis, bukan kaum postmodernis, tetapi perhatian Toynbee tidaklah pada dampak pengetahuan sains dengan keunggulan tekniknya, dengan penguasaan atas alam dan gaya hidup yang segala sesuatunya dapat dimungkinkan oleh mesin. Postmodernis yang anti-intelektual (anti-intelectualism) mungkin saja lamban dalam mengejar pengetahuan sains, tetapi televisi, komputer, dan juga berbagai teknologi elektronik yang di luar imajinasi kita akan sangat mempengaruhi. Para ahli teknik akan menghasilkan produk-produk ini akan membentuk suatu bentuk yang baru dari keimaman (priesthood) dengan model pengetahuan-pengetahuan di luar jangkauan kaum awam -- yaitu orang-orang yang memahami teknologi sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami seluruhnya (incomprehensible) sebagaimana dengan hal-hal magis. Orang-orang mungkin saja sepenuhnya tidak akan tertarik lagi dengan sains objectif, tetapi mereka akan membangun kehidupan mereka dan konsep nilai mereka di seputar teknologi.
Toynbee kelihatannya sudah memprediksi apa yang sekarang digambarkan oleh Neil Postman, seperti pengambilalihan seluruh masyarakat modern -- suatu puncak dari "technopoly", yaitu suatu kondisi di mana teknologi membutuhkan satu bentuk monopoli atas seluruh kebudayaan.
Saat ini teknologi sedang memusatkan perhatiannya pada proses melampaui perhatiannya pada isi. Postman menegaskan hal ini mengakibatkan kebingungan moral dan spiritual yang akan mengubah seluruh kapasitas berpikir kita. Ia menuliskan, "Melalui satu bentuk pendidikan, di mana isi pendidikan itu sendiri tidak memiliki falsafah hidup yang bertalian satu sama lain secara logis, teknologi mencabut diri kita dari berbagai aspek sosial, politis, historis, metafisik, logis, dan rohani untuk mengetahui apa yang melampaui keyakinan." (Neil Postman, Technopoly: The Surrender of Culture to Technology, New York: Vintage Books, 1993).
Technopoly membutuhkan revisi yang terus-menerus agar upto-date. Hal ini bertentangan dengan tradisi (Neil Postman, hal. 185). Hal ini cocok dalam alam teknologi. Satu komputer yang baru kelihatannya akan lebih baik daripada yang lama. Tetapi, apa yang sah (valid) dalam satu keadaan tidak mesti sah pada keadaan yang lain. Walaupun tradisi-tradisi dalam semua kebudayaan, selalu melayani fungsi sosial (misalnya, menjaga nilai-nilai moral dan menciptakan lembaga keluarga yang stabil), namun teknologi membuang semua itu sebagai sampah.
Pada abad pertengahan, teologi skolastik secara tidak tepat mengaplikasikan metodologi teologinya ke dalam bidang yang di luar obyek pengetahuannya, misalnya, sains. Pada masa kini, kebalikannya yang terjadi. Manusia mengaplikasikan metodologi -- kerangka pikir -- teknologi ke dalam semua bidang, termasssuk teologi dan etika.
Sementara masyarakat modern semakin sekular, masyarakat postmodern menentukan fungsi religi kepada dirinya sendiri. Postmodenis menurunkan nilai teologi, moral, dan misteri manusia kepada hal-hal teknis. Postman menunjukkan betapa para ahli teknik telah menjadi imam-imam yang baru.
Di dalam teknologi, seluruh ahli dibekali dengan karisma keimaman (charisma of priestliness). Beberapa dari imam ahli (priest - experts) kita sebut sebagai psikiater, atau psikiolog, yang lain sosiolog, dan beberapa ahli statistik. Allah yang mereka sembah tidak berbicara tentang kebenaran atau kebaikan atau kemurahan atau anugerah. Allah mereka bicara tentang efisiensi, ketepatan (presisi), keobyektivitasan. Itu sebabnya mengapa konsep dosa dan kejahatan tidak muncul di dalam technopoly. Mereka datang dari satu moral semesta yang tidak relevan dengan para ahli teologi. Jadi, para ahli technopoly, menyebut dosa sebagai "deviasi / penyimpangan sosial," dalam konsep statistik, dan mereka akan menyebut kejahatan sebagai "psikopatologi," dalam konsep medis. Dosa dan kejahatan tidak muncul karena hal itu tidak bisa diukur dan dikenali (objectified), oleh sebab itu para ahli technopoly tidak perlu untuk membicarakannya (Postman, hal. 90). Manusia, perasaan-perasaan, ide-ide, dan nilai-nilai harus dinilai secara kuantitas (quantified). Kerangka pikir logika-teknis (techno-logical) harus mereduksi segala sesuatu ke dalam angka-angka.
Kita sedang berada di dalam abad statistik -- pemungutan suara, test-test standarisasi, dan semua instrumen penilaian yang mengukur segala sesuatu dari kualitas kerja kita sampai kepada kondisi psikologis kita. Kita mengevaluasi tidak dalam ukuran benar atau salah, tetapi melalui urutan angka dalam skala 1-10 point.
Simbol-simbol tradisi, seperti religi, bukan tidak diakui tetapi diremehkan. Statistik mereduksi kepercayaan menjadi pendapat-pendapat dan standar-standar moral yang ditentukan oleh seseorang. Reproduksi teknologi dan karya-karya visual yang representatif secara tidak henti-hentinya melawan semua konsep yang misteri atau yang kudus.
Konsep Alkitab tentang kudus artinya secara harafiah adalah "dipisahkan dari," namun teknologi membawa segala sesuatu -- seks, penderitaan, personalitas, dan kehidupan batiniah -- menjadi sesuatu yang profan, yaitu secara harafiah artinya "umum, biasa" (common).
Saat ini, tidaklah masalah bila media massa mengekspos besar-besar masalah seksual yang dulu merupakan hal yang rahasia dan pribadi; demikian juga dengan kejahatan, yang dulu dipandang sebagai yang mengerikan dan tersembunyi. Media visual masa kini akan memotret semua yang dapat dilihat. Apa yang tidak dapat dilihat -- yaitu Allah, iman, kebajikan, spiritualitas -- itu di luar perhatiannya dan diabaikan. Kalaupun tidak diabaikan, realita spiritual akan diperhatikan dalam pemahaman media masa kini. Sama saja dengan melecehkannya.
Pada waktu sebuah film mempertontonkan tentang Allah, maka Allah akan diperankan oleh George Burns (seorang bintang komedi), maka film itu menjadi film komedi. Simbol-simbol religi memang masih memiliki resonansi emotional yang kuat, tetapi semua itu tanpa memiliki arti referensi.
Simbol seks terakhir disebut-disebut adalah Madonna, dengan judul "Maria si perawan suci". Dia memamerkan salib sebagai bagian dari pakaiannya yang seksi dan gambar video uap yang menggambarkan patung seorang kudus / santo yang hidup kembali, dan kemudian mereka melakukan kegiatan seksual di gereja. Media seringkali mengulang ke-profan-an dan terus mengutuknya, tetapi sesaat kemudian hal itu menjadi terbiasa dengan hal itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Postman, simbol-simbol kesakralan itu menjadi kering dan kehilangan maknanya (Postman, hal. 164-180).
Di dalam masyarakat technopoly, mereka menyerukan "jangan membuat keputusan moral, cukup yang praktis-praktis sajalah." Karena mereka kekurangan ide-ide tentang baik dan jahat, mereka akhirnya terjatuh kembali kepada satu-satunya standar yang mereka miliki, yang dimiliki oleh teknologi: Asas Manfaat. Manusia mereduksi nilai hidup manusia di dalam skala kesehatan. Mereka membenarkan pembunuhan terhadap orang sakit, orang yang cacat, dan terhadap anak-anak di dalam kandungan orang-orang miskin. Mereka bertindak dengan alasan, bahwa jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat tidak ingin tetap hidup dengan pertolongan mesin; euthanasia akan menurunkan biaya rumah sakit; aborsi akan menjaga kesejahteraan keluarga (yang hidup).
Orang-orang pergi kepada para ahli untuk menyatakan dilema etika, mempercayakan keputusan hidup mati pada papan etika rumah sakit. Banyak orang yang memutuskan bunuh diri ingin supervisi seorang dokter.
Pada masa kini kita sedang berada ditengah-tengah sebuah transisi yang amat besar, jauh dari zaman pramodern dan zaman modern, masuk ke dalam air yang belum dipetakan. Apakah dunia yang tidak teratur ini akan bergerak ke arah "pengilahian kominitas berbagau agama" atau ke arah "pengilahian kekuasaan oikumenis" atau ke arah "pengilahian terhadap teknisi / profesional" kita tidak tahu.
Pada masa kini, kita melihat tanda-tanda dari ketiga ilah di atas -- pengelompokan identitas yang kental, globalisasi yang menekankan kesatuan, dan sebuah teknologi yang tidak bisa dikekang. Sudah tentu, ada satu pilihan lagi -- menguak kembali iman yang transendental.
Toynbee sependapat dengan surat yang diterimanya dari Edwin Bevan, yang menyadari hubungan antara anarki dengan tirani. Ramalan Bevan yang suram tentang dunia yang akan datang membahwa seberkas sinar pengharapan:
Anarki pada hakikatnya adalah lemah, dan di dalam dunia yang anarki, banyak organisasi yang kuat dengan organisasi yang rasional dan pengetahuan yang ilmiah akan menyebarkan kekuasaannya kepada yang sisa. Dan sebagai sebuah alternatif bagi anarki, dunia akan menyambut keadaan yang lalim...Tetapi di sana ada gereja...sebuah faktor yang harus dipertimbangkan. Mungkin kelak akan mengalami mati syahid, tetapi sebagaimana hal itu pada akhirnya telah mendesak kekaisaran Roma pada umumnya untuk tunduk kepada Kristus, mungkin saja peristiwa itu terulang kembali, melalui banyak mati syahid, mengalahkan kerajaan dunia yang akan datang untuk tunduk di bawah kaki Kristus (A Letter from Edwin Bevan, dikutip dalam Arnold J. Toynbee, A Study of History, London: Oxford University Press, 1984, 5:9-10).

Tidak ada komentar:

Jika ingin menerima pemberitahuan mengenai postingan baru, masukkan alamat email Anda dibawah...

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

This Day In A History...

 
Date Conversion
Gregorian to Hijri Hijri to Gregorian
Day: Month: Year